Selasa, 02 Juni 2009

GAK NGREPEK GAK GAUL, GAK NYONTEK KUPER

Oleh : Nurali

Tidak dapat dipungkiri bahwa peristiwa Ujian Akhir Sekolah berstandar nasional (UASBN) merupakan salah satu pertaruhan bagi survivalnya jati diri seorang pendidik. Pendidik yang mampu menaikkan nilai UASBN peserta didik menjadi lebih baik, atau diterima di sekolah negeri akan mendapatkan kebanggan tersendiri. Sebaliknya bila nilai peserta didik jatuh di bawah target yang diharapkan dianggap sebagai sebuah ketidakberhasilan. Padahal proses mendidik sangat berbeda dengan memasukkan air ke dalam gelas, yang dapat dipastikan hasilnya.
Peserta didik adalah individu yang memiliki perbedaan kecakapan, memiliki bakat, minat, perhatian, emosi serta tingkat intelegensi yang tidak bisa disamaratakan Secara alamiah kondisi dan bodoh pintar merupakan kodrat alam yang akan selalu hadir, meskipun upaya pengeleminasian kebodohan senantiasa diupayakan secara maksimal. Pemahaman terhadap konsepsi yang demikianlah yang belum dimiliki oleh para pendidik secara konstan, sehingga gampang tergerus oleh tuntutan yang merendahkan derajat tujuan pendidikan, menjadi tujuan-tujuan sementara yang menjerumuskan peserta didik.
Sebagai akibat dari proses instanisasi pendidikan yang demikian, banyak guru terjebak untuk bekerja maksimal hanya untuk mencapai tujuan sementara berupa tingginya nilai UASBN. Nilia UASBN yang tinggi telah mengaburkan substansi tujuan pendidikan yang justru lebih universal dan mulia. Dengan bahasa sederhana akan berbunyi pendidikan berhasil apabila nilai UASBN yang diperoleh peserta didik cukup tinggi, dan tujuan pendidikan tidak tercapai apabila nilai yang diperoleh peserta didik rendah. Kondisi tersebut tentunya harus segera dipulihkan dari sakitnya pemahaman tentang konsep pendidikan sepanjang hayat, dan pendidikan sebagai investasi moral.
Akibat dari bias pemahaman akan pendidikan tersebut telah didapati fakta yang cukup memperihatinkan. Di sebuah Sekolah Dasar di kota Jombang dengan sejumlah prestasi akademik maupun non akademik muncul sebuah doktrin dari salah seorang guru pengajar kelas VI, “Gak Ngrepek Gak Gaul, Gak Nyontek Kuper”. Kalimat tersebut terjemahannya, ketika mengerjakan UASBN peserta didik sedapat mungkin melihat buku, catatan atau sejenisnya untuk menemukan jawaban soal, selain itu peserta didik harus berusaha bertanya atau melihat jawaban temannya yang lebih pintar. Karena bila tidak mau melihat jawaban pada buku dikatakan tidak gaul, tidak popular, dan bila tidak mau mencontoh jawaban teman yang lebih pandai dikatakan kurang pergaulan.
Doktrin tersebut ternyata benar-benar mujarab dan semua peserta didik melakukan apa yang didoktrinkan seorang guru. Dapat diduga, karena adanya upaya yang sistematis maka nilai peserta didik di sekolah tersebut sangat memuaskan, meskipun diperoleh dengan cara yang tidak halal. Semua guru bangga, orang tua murid gembira, mengira putra-putrinya berhasil dalam menempuh ujian. Di balik kesuksesan tersebut sebenarnya terjadi pembusukan norma dan nilai yang sudah ditanamkan oleh pendidik sejak peserta didik memasuki pendidikan. Ibarat panas enam tahun terhapus begitu saja oleh hujan dua jaman.
Ketika kondisi tersebut disampaikan salah satu orang tua murid kepada Dinas Pendidikan Kabupaten Jombang, antara dipercaya dan tidak. Tetapi ketika informasi tersebut tidak dipercaya sepenuhnya tentunya akan menjadi pil pahit bila faktanya benar-benar ada. Akhirnya dicoba untuk menggali informasi dari kecamatan lain dan ternyata beberapa guru juga mengungkapkan fenomena yang sama. Sungguh suatu kondisi yang sangat memprihantinkan.
Dinas Pendidikan Kabupaten Jombang tentunya sangat sulit mencari celah untuk mengeleminir persoalan secara cepat dan tuntas, mengingat semua prosedur yang menjadi tanggungjwab kelembagaan telah dilakukan. Pada saat pelaksanaan UASBN telah diadakan pengawasan silang penuh. Artinya, setiap Satuan Pendidikan pelaksanaan UASBN diawasi oleh para pendidik dari satuan pendidikan lain. Setiap kelas diawasi oleh dua orang pengawas. Satu ruang kelas hanya berisi 20 orang peserta. Jarak tempat duduk antar peserta minimal 1 meter. Bila pengawasan dilaksanakan dengan ketat tentunya doktrin Gak Ngerep dan Gaul, Gan Nyontek Kuper tidak memungkinkan dapat diterapkan. Pada tataran tersebut sebenarnya berpulang kepada Satuan Pendidikan dan masing-masing pendidik bila menginginkan hasil pendidikan yang ideal.
Dalam pandangan pendidikan doktrin yang disampaikan guru tentunya menjadi antiklimak dari proses pembelajaran yang sudah dilaksanakan. Sejak peserta didik memasuki dunia pendidikan, aspek moral mulai ditanamkan melalui kegiatan pembiasaan. Peserta didik dikenalkan dengan konsep kejujuran, sopan santun, keimanan dan ketaqwaan, kepercayaan diri, serta pentingnya bekerja maksimal dengan upaya yang optimal pada koridor proses yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara itu doktrin yang diberikan nyata-nyata kontradiktif dengan ajaran moral yang telah diberikan.
Ngrepek adalah implementasi dari ketidakjujuran dalam bekerja, mencontek adalah perbuatan yang disebabkan oleh rasa tidak percaya para pelakunya. Nah, bila kedua kegiatan tersebut justru disarankan oleh seorang pendidik, lalu apa gunanya mereka memberikan pendidikan yang bermoral. Akibat psikologis dari doktrin guru adalah munculnya krisis kepercayaan sang peserta didik kepada pendidik pada tataran pendidikan yang lebih tinggi. Haruskah peserta didik mengikuti anjuran pendidiknya bila pada akhirnya sang pendidik mengingkari norma dan nilai yang telah diberikan. Akibat lebih kompleks anak didik akan menjadi pesimis akan nilai, kurang tegas dalam berpendirian, peragu, bahkan akan kehilangan jatidirinya sebagai insane yang telah diberikan sejumlah kelebihan oleh Yang Maha Pencipta.
Secara fungsional bila proses ngrepek dan mencontek berhasil maka berujung pada tingginya nilai Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional. Tingginya nilai UASBN membuka jalan untuk diterima di sekolah negeri yang favorit. Permasalahannya bagaimana jika peserta didik lain yang diterima di sekolah favorit mendapat nilai tinggi karena upaya yang jujur dan halal. Bukankah peserta didik yang mendapatkan nilai dari hasil ngrepek dan mencontek akan tertinggal. Inilah akibat buruk pertama yang akan diderita anak didik secara langsung. Akibat kedua, bagaimana jika nantinya peserta didik sudah terlanjur apatis dengan proses pembelajaran, toh pada akhirnya juga akan melakukan proses yang sama seperti ketika ujian di sekolah dasar. Bukankah pendidikan menjadi semakin tidak bermakna.
Kerugian ketiga, racun indoktrinasi yang diterima bisa jadi akan menyebar pada peserta didik lainnya yang belum tertular. Peserta didik lainnya akan menjadi pembawa basil pada peserta didik lainnya, yang akhir seluruh sekolah menjadi virus generasi yang sangat membahayakan. Pendidikan akan menjadi sekumpulan pembuangan akhir dari kototran pendidikan yang tak terurus. Bukankah sangat merugikan bangsa dan Negara sekaligus rakyat melarat yang ikut membayar pajak guna memenuhi kuota anggaran 20%. Nauzdubillah. Berhentilah, berhentilah, jangan ulangangi, apalagi ikut menyebarkan!
Untuk itu, solusi terbaiknya adalah penyadaran diri pada pendidik untuk segera kembali ke jalan yang benar. Jalan yang sesuai dengan kaidah-kaidah pedagogis yang telah dimilikinya. Jalan yang ditentukan oleh sang Maha Pencipta melalui firman-firmannya. Tanpa kesadaran mustahil proses yang luhur dan mulia dapat dilaksanakan. Tidak ada keuntungan yang akan didapat dari proses yang salah dengan cara menyuruh anak didik mencontek dan ngrepek. Paling untung hanyalah pujian, plus sebungkus oleh oleh menjelang perpisahan dengan peserta didik, tetapi virus yang tersebar akan merjadi racun yang daya bunuhnya melebihi dahsyatnya tsunami.
Oleh karenanya, penulis sebagai bagian dari Dinas Pendidikan hanya mampu mengajak meninggalkan masa-masa suram, doktrin yang kejam. Untuk kembali ke jalan Tuhan. Bekerja dengan ikhlas, tanpa mengharap balas. Bekerja jujur mengangkat harkat dan martabat yang luhur, sebagai bekal di liang kubur!

Ancol, Jakarta : 1 Juni 2009
Wonglemu tapi Manis

2 komentar:

  1. teruskan perjuangan Bapak semoga sukses!

    BalasHapus
  2. ah, tenane! jangan terlalu overdosis

    BalasHapus