Kamis, 09 Juli 2009

Pemahaman Bacaan Sastra

Oleh : Nurali
Kasi Kurikulum SD Dinas Pendidikan
Kabupaten Jombang


Pengantar Pembahasan
Munculnya kata pemahaman pada judul di atas berawal dari beberapa istilah yang muncul dari pendapat beberapa tokoh sastra dalam rangka memunculkan unsur-unsur yang turut membangun karya sastra. Istilah-istilah tersebut meliputi: telaah sastra, sorotan aats karya sastra, penelitian karya sastra, apresiasi sastra, serta kritik sastra, Istilah telaah sastra dipakai oleh MS Hutagalung dalam bukunya telaah puisi. HB jassin mengerucutkan dengan istilah sorotan atas karya sastra dalam bukunya Analisa Sastra, kemudian Slamet Mulyana dalam bukunya beberapa peristiwa Bahasa dan Peristiwa Sastra menggunakan kata penelitian sastra.
Terminologi telaah sasatra menyiratkan pengertian menelaah, mempelajari, menilik, menyelidiki, dan memerikasa karya sastra. Analisa sastra membicarakan hal-hal yang terdapat dalam karya sastra, termasuk pesan serta kemahiran penulis dalam menuangkan kretivitasnya. Sementara konsep penelitian sastra dimaknai sebagai proses memeriksa dengan cermat unsur-unsur yang membangun karya sastra. Apabila ketiga proses tersebut telah dilalui oleh seorang pembaca karya sastra, orang tersebut tentunya menjadi paham akan hal-hal yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Maka pengertian yang lebih luas dan melingkupi ketiga pengertian di atas atas adalah pemahaman atas Bacaan Sastra.
Implementasi dari pemahaman atas sebuah karya sastra, pembaca akan mampu menerjemahkan sisi positif, nilai guna, refleksi sastra berikut keindahan-keindahan yang muncul pada sebuah karya sastra. Proses pengindahan tersebut selanjutnya diberi istilah apresiasi sastra. Atas pengetahuan terhadap nilai yang dimiliki karya sastra pembaca akan mampu menimbang kebaikan, kejelekan, kelebihan maupun kekurangan sebuah karya sastra. Peristiwa tersebut selanjutnya diberikan istilah sebagai kritik sastra.

Unsur Pembangun Karya Sastra
Karya sastra dibangun oleh beberapa unsur. Slamet Mulyono menyebutnya sebagai unsur bentuk dan unsur isi. Unsur bentuk dikenal dengan istilah intrinsik sedangkan unsur isi diistilahnya dengan unsur ekstrinsik. Unsur bentuk dalam membentuk sebuah karya sastra akan membedakan genre sastra yang akan muncul. Sementara isi sebuah karya sastra akan menentukan kecenderungan atau perwajahan sebuah karya sastra. Meskipun unsur bentuk dalam membangun semua karya sastra secara umum memiliki kesamaan, pasti ada satu atau dua unsur bentuk yang berbeda.
Unsur bangun karya sastra yang berupa prosa pada umumnya adalah tema, alur, tokoh, setting, sudut pandang dan gaya. Pada puisi terdapat unsur-unsur sajak, baris maupun bait. Karya sastra berbentuk drama menambahkan unsur dialog, kramagung (penjelasan action atas sebuah diaog), babak, musik, serta tokoh-tokoh yang lebih visual dibandingkan prosa maupun puisi.
Unsur isi membangun sebuah perwajahan, apakah sebuah karya sastra memiliki perwajahan sosiologis, psikologis, antropologis, religi, historis, etika maupun estetika. Wajah sosiologis dominan dengan peristiwa sosial dalam sebuah karya sastra. Unsur psikologis menampakkan konsep psikologis dalam jalinan alur maupun watak-watak tokohnya. Demikian juga dengan konsep antropologis yang berbau kebudayaan, religi berbau keagamaan, etika yang moralis, serta estetika yang berkutat pada persoalan keindahan.
Gabungan antara bentuk dan isi memberikan makna tertentu bagi sebuah karya sastra yang telah dipahami melalui sudut pandang apresiasi maupun kritik sastra. Artinya apakah sebuah karya sastra akan menjadi sebuah mastepiece atau sebaliknya, ditentukan oleh kepadauan anatra bentuk dan isi yang tidak terpisahkan. Artinya, tidak berarti isi menarik bentuk kurang mendukung, bentuknya bagus isinya terlalu sederhana, dan sebagainya.

Bacaan Sastra Untuk Siswa Sekolah Dasar
Sebuah bacaan sastra tentu tidak dapat dikategorikan apakah karya tersebut dikhususkan untuk dibaca oleh anak atau orang dewasa. Ketika karya tersebut dimunculkan di tengah tengah masyarakat, siapa pun bisa menjamahnya, lepas dari kriteria usia. Boleh jadi sebuah bacaan hanya diperuntukkan bagi orang dewasa, tetapi bila jatuh di tangan anak-anak tentu akan dibacanya. Sama, seperti film 17 tahun ke atas, ketika seorang anak membawa tiket, petugas portir pun tidak bisa menolaknya, meskipun jelas-jelas tertera tulisan untuk 17 tahun ke atas. Dalam hal tersebut orang tua harus selektif dalam menyajikan bacaan bagi putra-putrinya.
Bacaan sastra untuk peserta didik di sekolah dasar tentunya harus disesuaikan dengan perkembangan yang sedang berlangsung pada anak usia Sekolah Dasar. Cerita yang sesuai perkembangan usia ini umumnya adalah sejarah tentang sebuah daerah, cerita rakyat, cerita yang memotivasi untuk belajar, semangat, kegigihan dalam berjuang, ketabahan, serta nilai-nilai keagamaan. Namun demikian tidak menutup kemungkinan tema lainnya bila masih dalam batas layak dibaca oleh anak-anak. Lebih mudahnya untuk menunjuk, bila cerita tersebut hanya layak dibaca oleh orang dewasa, maka jangan disajikan untuk peserta didik yang masih di Sekolah Dasar.

Pemahaman Bacaan Sastra Anak
Pemahaman bacaan sastra anak dapat dijadikan sarana penanaman nilai kehidupan secara lebih universal. Anak akan mengenal keindahan, etika, filsafat, serta berbagai teknik katarsis lainnya secara lebih demokratis. Anak akan masuk dunia nyata secara langsung meskipun melalui media tiruan. Pada batas sastra sebagai cermin masyarakat serta kritik sosial yang sengaja dihembuskan oleh penulisnya, karya sastra akan mampu memberikan pencerahan sosial secara alamiah tanpa dibuat-buat. Alamiahnya proses tersebut karena tidak melalui doktrin-doktrin yang diberikan guru yang kadang justru mengkacaukan pemahaman anak.
Namun demikian kondisi tersebut masih berada pada tataran yang sangat sederhana. Secara tekstual, anak mungkin hanya ditunjukkan dengan cerita tentang anak yang ditinggal meninggal oleh Bapaknya, cerita tentang anak-anak jalanan yang ingin hidup normal seperti anak-anak lainnya. Atau mungkin seorang anak yang harus membantu bekerja orang tua di sawah, sementara ia juga masih ingin bermain main dengan temannya. Permasalahan-permasalahan tersebut merupakan awal dari sebagai modal yang harus dimiliki untuk memahami bacaan sastra lebih lanjut.
Bila pemunculan teks sastra benar-benar dimanfaatkan sebagaiamana fungsinya tentu akan sangat baik, akan tetapi pada umunya sajian karya sastra hanya memiliki nilai praktis untuk mengerjakan soal-soal ujian yang terkait dengan pemahaman bacaan. Lebih dari itu hanya berupa bekal yang mungkin belum akan terpahami secara maksimal oleh anak. Soal-soal yang terkait dengan unsur keindahan, perwajahan, tentu belum akan muncul pada soal-soal ujian akhir sekolah, meskipun tidak dilarang, dan sepanjang masih merupakan bagian dari kompetensi yang harus dikuasai, maka sah sah saja untuk diujikan pada peserta didik.
Untuk memahami karya sastra dapat dimulai dari unsur intrinsik pembangun karya sastra. Unsur tersebut meliputi tema, alur, tokoh, setting, sudut pandang serta gaya bahasa. Tema adalah persoalan dasar dalam sebuah karya sastra. Pada peserta didik Sekolah Dasar lazim dikenalkan dengan istilah pokok pikiran, atau yang menjadi pembicaraan dalam sebuah wacana sastra, tetapi tidak jarang juga disebutkan dengan istilah tema. Di bawah ini contoh paparan tema sebuah wacana atau pikiran utama sebuah teks:

Taman sekolahku sangat indah. Selain indah, teman itu juga bersih. Keberadaan taman sekolah membuat sekolahku semakin cantik dilihat. Apalagi bila jam istirahat tiba, ketika ketika lelah belajar, pikiran kita akan segar kembali setelah melihat taman yang bersih penuh dengan bunga beraneka warna dan pohon-pohon rindang yang berjajar rapi. Tentu saja, jasa Pak Dudung tukang kebun sekolahku sangat besar dalam merawat keindahan dan kebersihan taman sekolahku. (naskah Soal UASBN 2009 )

Bila tema wacana di atas ditanyakan kepada peserta didik, maka yang harus dilihat adalah dominasi kata yang berkali-kali disebut. Kata indah disebut tiga kali. Setelah itu paparan dari sebuah keindahan yang diungkap dalam wacana. maka tema yang tepat adalah keindahan. Hanya saja menjadi sangat disayangkan ketika dalam option jawaban tidak tersebut kata keindahan.
Tokoh adalah pelaku dalam sebuah cerita, orang, hewan, atau apapun yang berlakuan dalam sebuah cerita. Tokoh dibangun oleh sebuah penokohan atau cara meokohkan. Cara menokohkan dapat dilukiskan melalui nama, bentuk fisik, lakuan yang diperankan, atau pikiran-pikiran yang muncul dalam teks. Menebak sebuah tokoh dapat dimunculkan dengan pertanyaan siapa, bila yang berlakuan adalah manusia, atau apa bila yang berlakuan adalah benda. Berdasarkan proses penokohan tersebut akan muncul tokoh yang baik, tokoh yang jahat, tokoh baik kemudian jahat dan sebaliknya.
Perhatikan contoh berikut:

Suatu saat ia berlabuh di wilayah Madura dengan tujuan ingin mengganggu seluruh gadis Madura. Akan tetapi Jokotole telah mengetahui niat jahat dampo Awang. Jokotole dan Dampo Awang bertarung mengadu kesaktian di tengah lautan. Cemeti Joko Tole menghantam perahu Dampo Awang. Perahu Dampo Awang hancur dan Dampo Awang tewas... (Naskah Soal UASBN 2009 N0 5)

Pada kutipan di atas jika ditanyakan siapa yang diceritakan atau siapa yang berlakuan dalam wacana? Tentu jawabnya adalah Joko Tole dan Dampo Awang. Joko Tole dan dampo Awang adalah tokoh dalam sebuah cerita. Lalu bagaimana perwatakan yang dimiliki? Maka jawabnya Jokotole berwatak baik sedangkan Dampo Awang berwatak jahat. Perwatakan Dampo Awang digambarkan melalui cerita pengarang sedangkan perwatakan Joko Tole digambarkan lewat perbuatannya melawan kejahatan Dampo Awang.
Alur secara sederhana dapat dimaknai sebagai jalan cerita. Lebih sederhana lagi diungkap dengan pertanyaan bagaimana ceritanya. Jawaban yang muncul adalah mula-mula ada tokoh di suatu tempat, bertemua dengan tokoh lain, terjadi pertentangan, pertentangan memuncak, kemudian ada penyeleaian cerita. Jalan cerita dapat dimulai dari akhir cerita bergerak menuju awal. Atau lurus dari awal menuju akhir cerita. Alur yang dimulai dari akhir disebut flashback.
Alur atau jalan cerita memang tidak mudah ditebak sebelum menyelesaikan selutuh karangan. Oleh karenanya jarang sekali pertanyaan tentang alur muncul dalam tes ujian. Namun demikian pengungkapan sebuah alur tetap menajdi porsi guru dalam pengenalannya. Untuk itu, jika sebuah kompetensi tidak mungkin diujikan dalam ujian tulis, maka harus dijaring lewat alat tes yang lain.
Setelah memahami alur, maka pemahaman karya sastra berikutnya adalah setting, latar, atau waktu maupun tempat terjadinya sebuah peristiwa dalam cerita. Setting sebuah cerita bisa disajikan secara eksplisit atau mungkin secara implisit. Untuk peserta didik di Sekolah Dasar mungkin belum sampai secara implisit, tetapi perlu juga dikenalkan. hal tersebutkan disebabkan penggunaan kata maupun kalimat tidak saja milik sebuah karya sastra, tetapi menjadi bagian dari alat komunikasi sosial, atau media kreativ lainnya, seperti lagu.
Perhatikan, ...dari musin durian hingga musim rambutan, tak juga aku dapatkan..., dua kali puasa, dua kali lebaran.. Ungkapan tersebut tentu tidak menyajikan waktu secara eksplisit, tetapi dapat dimaknai dengan satu musim atau satu tahun. Kutipan kedua menandakan jangka waktu dua tahun, karena setiap bulan puasa dan hari raya berselang satu tahun.
Pemahaman yang demikian tentunya memerlukan kecermatan dan kejelian daya baca. Selain itu itu juga diperlukan wawasan yang agak luas perihal diksi dari sebuah kalimat. Tanpa ketelitian dan kecermatan bisa jadi tidak menemukan setting dalam sebuah karya sastra, padahal setting juga merupakan unsur yang dominan dalam membangun tampilan sebuah kaya sastra.
Sudut pandang dalam karya sastra diartikan sebagai cara pengarang menyajikan ceritanya. Cerita tersebut dapat disajikan dengan gaya aku, gaya dia, atau pengarang sama sekali diluar karya yang ditulisnya. Artinya pengarang sebagai dalang yang serba tahu atas tokoh yang diperankannya. Pengarang dapat berbicara apa saja secara bebas tentang tokoh, tema, setting atau hal-hal lain yang akan disajikan.
Sama dengan memahami alur, cukup rumit menanyakan sudut pandang dalam naskah ujian. Namun demikian tidak berarti tidak harus diujikan kepada peserta didik. Masih ada cara lain yang bisa dipergunakan guru dalam mengukur kemampuan peserta didik dalam memahami sudut pandang. Artinya sudut pandang pun dapat diujikan oleh guru.
Gaya sebagai bagian dari karya sastra tersebar menyeluruh pada karya sastra, baik berupa gaya bahasa maupun pilihan kata tertentu oleh pengarang. Gaya merupakan kekhususan pengarang dalam melakukan pilihan kata yang dimungkinkan membeirkan efek tertentu pada hasil akhir karya ciptanya. Sifatnya pribadi sekali dengan ukuran-ukuran yang juga pribadi sekali. Untuk itu diperlukan pemahaman khusus serta bandingan karya lain dari pengarang yang bersangkutan lebih beragam, agar ketepatan memahami makna menjadi lebh sempurna.
Ada pengarang menggunakan kata njlimet untuk menggantikan kata specifik, ada yang menggunakan kata bajingan, korak, pencoleng, untuk menggantikan makna orang yang berperilaku jahat. Pilihan-pilihan kata tersebut tentunya memberikan efek makna yang berbeda dari aksesntuasi makna yang dikehendaki oleh pengarangnya.
Terkait dengan hal-hal tersebut, meskipun dalam konsep ilmu sastra terdapat unsur instrinsik sebagai salah satu acuan dalam memahami karya sastra, untuk peserta didik di sekolah dasar dapat mempergunakan acuan yang umum, yakni acuan-acuan yang lebih mudah dipahami oleh peserta didik tanpa mengurangi esensi yang diharapkan. Acuan tersebut misalnya konsep 5W dan 1 H. Konsep apa, siapa,mengapa, kapan, di mana dan bagaimana tersebut pada prinsipnya dapat menjawab pertanyaan, apa yang menjadi persoalan dalam cerita, siapa yang bermasalah, mengapa terjadi masalah, kapan masalah terjadi, di mana masalah terjadi, dan bagaimana terjadinya masalah.
Dengan mengembangkan enam petanyaan di atas, dapat dijawab unsur intrinsik yang turut membangun sebuah karya sastra. Perbedaannya, pada setiap jawaban yang muncul tidak hanya dijawab dengan satu kata, tetapi dengan beberapa kata agar menjadi lebih rinsi merujuk pada konsep yang lebih specifik. Misalnya kapan terjadinya masalah, jawabannya adalah, masalah terjadi pada tanggal ...., ketika ...., bersamaan dengan .... dsb. Dengan demikian ada ciri penanda jawaban antara pertanyaan yang ditujukan untuk teks sastra dan teks non sastra.

Strategi Pembelajaran Pemahaman Bacaan Sastra.
Memahami bacaan sastra pada prinsipnya sama dengan memahmi bacaan-bacaan lainnya. Dalam konteks kebahasan masih berlaku prinsip language is habit, bahasa adalah kebiasaan. Untuk itu anak perlu dilatih secara terus menerus sesuai dengan jumlah jam yang ada di kelas masing-masing. Prinsipnya ketika anak harus belajar membaca maka guru harus memberikan bacaan, ketika belajar mendengarkan maka harus ada bahan dengan yang disediakan guru, termasuk ketika belajar berbicara atau menulis. Semakin terbiasa anak melakukan proses membaca akan semakin bagus hasilnya. Semakin jarang membaca tentu semakin tidak bagus hasil bacanya.
Proses pembelajaran dilakukan sebagai berikut:
- Guru menyediakan bacaan sastra untuk jangka waktu tertentu
- Guru melakukan stimulasi tentang karya sastra
- Guru dan siswa mendiskusikan proses pembelajaran yang akan dilakukan
- Guru membagikan bahan bacaan untuk dibaca siswa dalam waktu yang telah ditentukan (misanya 10 menit atau 15 menit)
- Selama siswa melakukan pembacaan atas teks karya sastra guru wajib menunggu dengan membawa stopwatch sebagai penanda waktu
- Bila waktu sudah menunjukkan kesesuaian dengan jatah waktu, guru harus memerintahkan siswa untuk mengakhiri pembacaan
- Guru dan siswa melakukan pembahasan
- Guru dan siswa mengambil kesimpulan atas teks sastra yang telah dibaca
- Guru memberikan penguatan terhadap hasil diskusi
Proses tersebut harus dilakukan guru setiap melaksanakan pembelajaran bahasa. Artinya saat melakukan pembacaan guru harus benar-benar menghitung kecepatan baca siswa. Proses pembacaan dilakukan dimulai dari waktu yang panjang, kemudian secara bertahap ditingkatkan dengan jatah waktu yang semakin sempit. Dengan demikian kecepatan baca peserta didik akan menjadi lebih efektif, karena ada pengawalan dari guru.
Beberapa catata yang harus diberikan kepada guru antara lain.
- Jangan meninggalkan siswa ketika siswa sedang membaca, karena dimungkinkan proses pembacaan tidak akan intensip
- Jangan memberikan sinopsis karya sastra untuk dibaca anak, anak harus membaca bacaan secara utuh, bila tidak ditemukan bahan bacaan yang dapat dibaca selesai dalam waktu singkat lebih baik guru membuatkan karya sastra sendiri untuk dibaca anak sehingga dapat diukur berapa lama dapat dibaca
- Upayakan guru menjelaskan kata-kata yang mungkin belum diketahui maknanya oleh siswa, sehingga ketika memahami bacaan tidak terhambat oleh kata yang belum dipahami maknanya.
- Akan lebih baik bila guru menyediakan pertanyaan pemandu agar pembacaan siswa menjadi lebih terfokus.
- Pertanyaan pemandu supaya disesuaikan dengan unsur yang akan ditemukan oleh siswa bila pemahaman bacaan sastra dilakukan secara partial. Artinya bila anak hanya disuruh menemukan tokoh, maka pertanyaan pemandunya diperuntukkan dalam pencarian tokoh dan penokohan, tidak disisipi dengan pertanyaan terhadap unsur lainnya.
- Melakukan pembelajaran sastra dan bahasa pada umumnya memang membuat guru jenuh karena tidak ada bahan sebagaimana mata pelajaran lainnya. Oleh karena itu kreativitas guru membuat pembelajaran menjadi lebih menyenangkan bagi bagi siswa sangat diperlukan

Penutup
Bahan bacaan sastra sebagaimana bahan ajar ketrampilan berbahasa lainnya perlu diajarkan kepada siswa secara lebih kreativ dan cerdas agar anak memiliki bekal batin untuk melaksanakan pembelajaran seumur hidup, belajar hidup bersama, belajar untuk bekerja, dan lebih penting lagi belajar menghidupi hidup. Bahan bacaan sastra dapat mewarnai kehidupan anak menjadi lebih indah sesuai nilai seni yang dimunculkan. Dipadu dengan pembelajaran Agama, IPTEK, maka hidup anak akan menjadi indah, terarah dan mudah. Semoga!


Nurali, M.Si
Kasi Kurikulum SD
Disajikan dalam Diklat Peningkatan Kompetensi Guru Bahasa Indonesia
Sekolah Dasar/Madarasah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar